Anakku Berkebutuhan Khusus, Ke Mana Harus Bersekolah ?
(Praktek Terbaik Pendidikan Inklusi di SMP Negeri 1 Maospati)
Oleh : Seno, M.Pd
Guru SMP Negeri 1 Maospati
A. Pengantar
Pendidikan adalah hak setiap warga negara yang dilindungi oleh
undang-undang tanpa memandang latar belakang agama, suku, ras dan
golongan., tak terkecuali anak-anak penyandang disabilitas atau anakanak
berkebutuhan khusus. Dalam UUD 1945 pasal 31 tertuang :
Ayat (1) ; “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”.
Ayat (2) : “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar
dan pemerintah wajib membiayainya”.
Di dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
memberikan ruang bagi pendidikan anak berkebutuhan khusus, dalam
penjelasannya, pasal 15 dan pasal 32 menyebutkan pendidikan khusus
adalah pendidikan untuk anak yang berkelainan dan memiliki kecerdasan
luar biasa, harus diselenggarakan secara inklusi atau berupa satuan
pendidikan khusus, pada tingkat pendidikan dasar dan menengah.
Permendiknas nomor 70 tahun 2009 juga menegaskan bahwa Pendidikan
Inklusi adalah pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua
peserta didik yang memiliki kelainan, memiliki potensi, kecerdasan dan
atau bakat luar biasa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran
dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik
pada umumnya.
Sebagai bangsa yang tunduk pada UU HAM atau konvensi dunia
tentang perlindungan anak, maka pendidikan inklusi ini juga mendapat
perlindungan hukum secara internasional, Deklarasi Pendidikan Untuk
Semua (1990), Deklarasi Hak Azasi Manusia (1948), Peraturan PBB
tentang Persamaan Kesempatan bagi Penyandang Cacat (1993),
Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi Unesco (1994), Undang-
2
Undang Penyandang Kecacatan (1997), Kerangka aksi Dakar (1994), dan
Deklarasi Kongres Anak Internasional (2004) (Sunaryo, 2009; 1).
Namun pada realitanya, pendidikan yang ada di Indonesia belum
memberikan rasa keadilan pada setiap warganya. Penyelenggaraan
pendidikan yang harusnya mengemban amanat undang-undang
memberikan akses yang seluas-luasnya kepada setiap warga negara
tanpa memandang dari latar belakang, suku, agama, ras dan golongan
pada kenyataannya semua itu masih jauh panggang dari api. Terlebih
bagaimana pemerintah beserta jajarannya masih belum memberikan rasa
keadilan bagi pendidikan anak berkebutuhan khusus atau penyandang
disabilitas untuk memperoleh hak-haknya.
Maka dari itu lewat tulisan ini penulis mencoba menulis artikel
berupa pengalaman yang penulis alami sebagai orang tua anak
berkebutuhan khusus, termasuk pengalaman penulis sebagai pendidik di
SMP Negeri 1 Maospati yang saat ini memiliki siswa berkebutuhan
khusus. Penulis mencoba membagikan pengalaman terbaik penulis
bersama-sama semua pihak yang ada di SMP Negeri 1 Maospati dalam
menyelenggarakan pendidikan inklusi bagi anak berkebutuhan khusus.
Artikel ini penulis angkat dengan harapan bisa menjadi referensi
bagi lembaga dan instansi terkait dalam menyelenggarakan pendidikan
inklusi. Yang pada akhirnya masyarakat akan memperoleh informasi yang
lengkap dan tidak bingung lagi ke mana harus menyekolahkan putraputrinya
yang berkebutuhan khusus.
B. Masalah
Penulis tinggal di Kabupaten Magetan, kabupaten kecil di Propinsi
Jawa Timur bagian barat, berbatasan dengan Propinsi Jawa Tengah.
Penuliis punya pengalaman yang unik dan menarik kalau boleh dibilang
menyentuh hati, Dua tahun berselang tepatnya bulan Juli tahun 2014 saat
PPDB seperti kebiasaan umum orang tua yang ingin memasukkan putraputrinya,
hal ini juga penulis lakukan. Kebetulan putra kami yang usianya
3
sudah 8 tahun diberikan anugerah berkebutuhan khusus, hasil diagnosa
psikiater anak kami memiliki kelainan keterlambatan berpikir, dengan hasil
tes IQ di kisaran 80. Sebagai orang tua kami mencoba mendaftarkan
putra kami ke salah satu sekolah yaitu sekolah A. Kami sampaikan kondisi
anak kami, jawaban dari pihak sekolah “ Mohon maaf bapak, di sekolah ini
hanya menerima anak-anak dengan kemampuan minimal yang
dipersyaratkan, karena peminatnya yang banyak kami terpaksa
mengadakan seleksi, dengan kondisi putra bapak yang seperti itu dengan
berat hati kami tidak bisa menerimanya “. Akhirnya kami kembali dengan
perasaan kecewa, lalu kami datangi sekolah lainnya sebut saja sekolah B.
Jawaban di sekolah B ini kurang lebih hampir sama, pendidik di sekolah
tersebut dengan bahasa yang dikemas santun namun pada dasarnya
menolak secara halus.
Yang lebih membuat hati ini terasa berontak saat kami mendatangi
sekolah yang ketiga, sebut saja sekolah C, setelah berbasa basi kami
utarakan maksud kami untuk menyekolahkan putra kami di sekolah
tersebut, di sekolah ini justru kami mendapat jawaban yang kurang
mengenakkan, “ Mohon maaf bapak kami tidak mau repot dengan
mengurusi putra bapak dengan mengorbankan peserta didik yang lainnya,
bagaimana nanti dengan prestasi sekolah kami, bagaimana dengan cara
kami menjelaskan kalau orang tua wali memprotesnya”, kata salah
seorang pendidik di sekolah C tersebut. Sampai-sampai kami berdebat
kecil, kami utarakan bagaimana dengan implementasi pendidikan inklusi
yang di selenggarakan pemerintah. Jawaban pendidik tersebut, “ ya
sekolahkan saja di SLB, itu memang sekolah untuk penyandang
keterbelakangan seperti putra bapak”. Meski dengan penjelasan yang
kurang begitu memuaskan akhirnya kami lebih memilih untuk mengalah,
karena kami perpikir buat apa berdebat dengan pihak-pihak yang memang
belum memahami hakekat dari pendidikan inklusi. Pertanyaan yang
muncul bagi penulis saat itu adalah kemanakah anak-anak berkebutuhan
khusus seperti anak penulis ini harus mencari sekolah?. Haruskah anak-
4
anak yang senasib dengan putra penulis ini harus mengubur impiannya
untuk dapat bersekolah?.
Di tahun yang bersamaan di sekolah penulis, tepatnya di SMP
Negeri 1 Maospati Kabupaten Magetan Jawa Timur, ada orang tua yang
putranya memiliki keterbatasan atau berkebutuhan khusus ingin
mendaftar sebagai siswa baru. Anak tersebut mempunyai keterbatasan
fisik berupa kakinya tidak normal, sehingga untuk berjalan harus
menggunakan kursi roda atau dibantu oleh orang lain. Secara seleksi
akademik atau nilai UASBN anak yang bersangkutan memenuhi standart
untuk di terima, namun secara fisik jelas tidak mungkin bisa mengikuti
kegiatan pembelajaran seperti siswa yang lainnya, bagaimana nanti untuk
mobilisasi ketika KBM, bagaimana mengikuti pelajaran penjaskes atau
olah raga, bagaimana nanti kegiatan praktikum, kegiatan upacara,
ekstrakurikuler, bagaimana nanti aktifitas individu seperti ke kamar kecil
dan lain-lain. Hal ini tentunya akan menambah permasalahan sekolah
yang tidak mudah. Berbagai penolakan muncul dari warga sekolah,
termasuk pendidik di SMP Negeri 1 Maospati untuk mengakomodasi anak
tersebut. Tak terkecuali tanggapan miring dari masyarakat atau orang tua
wali yang mempertanyakan kenapa sekolah ini yang notabene “sekolah
favorit” bisa menerima anak seperti itu, apakah itu nanti tidak
mengganggu siswa yang lainnya, apakah tidak menurunkan mutu
pendidikan di SMP Negeri 1 Maospati.
Sebagai anggota panitia PPDB dan mempunyai pengalaman
sulitnya mencarikan sekolah anak berkebutuhan khusus, akhirnya penulis
memberanikan diri menyampaikan permasalahan tersebut kepada Kepala
Sekolah dan Pejabat Dinas Pendidikan bagaimana kalau menerima anak
tersebut untuk menempuh pendidikan di SMP Negeri 1 Maospati pada
tahun pelajaran 2014/2015. Alhamdulillah akhirnya permohonan penulis
terkabul.
Kejadian seperti ini seharusnya tidak boleh terjadi, kenapa
pemerintah tidak memberikan sosialisasi mengenai pentingnya
5
mengakomodasi pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus,
kenapa para pendidik kurang memahami tugasnya bahwa mendidik itu
harus adil tanpa membedakan latar belakangnya, kenapa pendidikan
belum memberikan rasa keadilan kepada kaum disabiltas.
Maka dari itu menurut penulis sebenarnya permasalahan utama
semua ini adalah “Apakah sebenarnya pendidikan inklusi dan
bagaimana implementasi penyelenggaraan pendidikan inklusi bagi
anak berkebutuhan khusus?“. Permasalahan itulah yang perlu kita
carikan solusi dan pemecahannya.
C. Pembahasan dan Solusi
Menurut Sue Stubb (2002: 37) pendidikan inklusif memiliki lebih
banyak kesamaan dengan konsep yang melandasi “pendidikan untuk
semua” dan “peningkatan mutu sekolah”, selanjutnya disampaikan pula
bahwa pendidikan inklusif merupakan pergeseran dari kecemasan tentang
suatu kelompok tertentu yang difokuskan untuk mengatasi hambatan
belajar dan prestasi. Sementara itu menurut Ofsted yang dikutif dari
Ainscow (2001), mengatakan bahwa sebuah sekolah yang mempraktekan
pendidikan inklusif merupakan sekolah yang memperhatikan pengajaran,
pembelajaran, pencapaian, sikap, dan kesejahteraan setiap anak.
Sehingga dari beberapa pendapat para ahli tersebut, menurut
penulis pendidikan inklusi adalah pendidikan khusus bagi anak-anak
berkebutuhan khusus, penyandang difabel, punya kemampuan luar biasa,
punya perilaku aneh dan lain-lain yang memang memerlukan penanganan
istimewa, namun dalam pendidikannya menjadi satu di sekolah reguler
bersama-sama dengan anak-anak normal lainnya. Sehingga sudah
selayaknya lembaga pendidikan yang ada di Indonesia harus memberikan
akses yang seluas-luasnya bagi kesamaan hak dan kesempatan kepada
setiap anak usia sekolah.
Komitmen dari setiap elemen sebuah lembaga dalam
mengakomodasi keberadaan anak berkebutuhan khusus sangatlah
6
diperlukan, tanpa kesadaran dan komitmen yang dimiliki oleh pimpinan
lembaga beserta jajarannya, niscaya keberadaan anak-anak
berkebutuhan khusus ini bisa mendapatkan simpati. Hal ini penulis
sampaikan bukan tanpa alasan, berdasarkan pengalaman nyata penulis
saat mengalami penolakan mendaftarkan anak ke beberapa sekolah.
Dari beberapa pengalaman penolakan-penolakan yang penulis
alami saat mendaftarkan sekolah putra penulis. Maka saat mendaftar ke
sebuah sekolah sebut saja sekolah D. Kami sampaikan sedikit informasi
tentang bagaimana kami ini yang memiliki anak berkebutuhan khusus ini
harusnya mendapatkan hak yang sama seperti anak-anak normal pada
umumnya untuk mendapat pendidikan yang layak dan seterusnya, dan
seterusnya. Pihak sekolah menyampaikan kepada kami bahwa mereka
kurang paham apa itu pendidikan inklusi, apa itu pendidikan berkebutuhan
khusus, namun Kepala Sekolah dengan bahasa yang santun
menyampaikan kepada kami bahwa lembaga tersebut siap menerima
putra kami untuk menempuh pendidikan di sekolah tersebut. Kurang lebih
seperti inilah kalimat yang disampaikan oleh pimpinan di sekolah tersebut,
“ Bapak, tugas kami adalah mendidik anak-anak untuk menjadi generasi
yang baik, berakhlak mulia, berguna bagi nusa bangsa dan agama, kami
tidak berpikir mereka anak siapa, ras apa, berkebutuhan khusus atau
tidak, semua memiliki hak yang sama, karena menurut kami Alloh
menghadirkan mereka ke dunia ini tentunya semua memiliki karakteristik
yang berbeda-beda dan pastinya memiliki kehebatan masing-masing.
Bapak tidak usah kuatir dengan putra bapak, kami insyaalloh dengan
ikhlas akan mendidik putra bapak kalau memang bapak mempercayakan
kepada kami”. Sungguh luar biasa ternyata masih ada lembaga
pendidikan yang tidak mengenal secara teori apa itu pendidikan inklusi
tapi secara nyata telah mengimplementasikan pendidikan inklusi
dilembaganya.
Berangkat dari pengalaman nyata itulah maka penulis bertekat
untuk menjadikan tempat tugas penulis yaitu di SMP Negeri 1 Maospati
7
Kabupaten Magetan Propinsi Jawa Timur menjadi sekolah untuk semua,
sekolah yang siap mengakomodasi anak-anak berkebutuhan khusus.
Untuk menjawab permasalahan di atas beberapa langkah kongrit
dilakukan SMP Negeri 1 Maospati dalam penyelenggaraan pendidikan
inklusi yaitu :
a) Sosialisasi Pendidikan Inklusi di SMP Negeri 1 Maospati.
Sosialisasi ini selalu dilakukan oleh sekolah kepada semua pihak
mulai pendidik dan tenaga kependidikan, siswa, komite sekolah, orang
tua wali murid dan stake holder. Hal ini penting dilakukan untuk
menyeragamkan persepsi dan menjaga komitmen bersama bahwa
pendidikan itu bukan diperuntukkan anak-anak normal saja tapi anak
anak berkebutuhan khusus juga berhak untuk mendapatkan hak yang
sama. Waktu pelaksanaan sosialisasi biasanya dilakukan pada:
Kepada pendidik dan tenaga kependidikan, biasa dilakukan di awal
tahun pelajaran dan secara berkala dalam rapat-rapat internal
sekolah.
Kepada siswa secara rutin guru-guru menyampaikannya kepada
siswa saat proses PBM dan waktu kegiatan pembiasaan beribadah.
Saat pertemuan komite sosialisasi ini disampaikan kepada pengurus
komite, orang tua wali murid dan stake holder.
Kepada masyarakat luas visi dan misi sekolah yang di dalamnya
termuat motto sekolah untuk semua, sekolah yang memegang prinsip
keadilan untuk sesama, senantiasa disebarluaskan melalui media
masa, baik media cetak maupun media audio visual.
Dampak dari sosialisasi ini relatif bagus, sekolah mulai terbuka
terhadap anak-anak berkebuthan khusus. Semua elemen yang ada di
sekolah tidak lagi memandang miring terhadap anak-anak berkebutuhan
khusus. Siswa-siswa di sekolah mulai menerima kehadiran anak
berkebutuhan khusus, hal ini terlihat dari sikap kooperatif dan rasa simpati
anak-anak terhadap keseharian anak penyandang disabilitas yang ada di
8
SMP Negeri 1 Maospati. Yang bersangkutan tidak lagi canggung
berinteraksi dengan siswa lain, bahkan untuk mobilisasi anak
berkebutuhan khusus tersebut, teman-teman satu kelasnya secara
bergantian membantunya.
b) Perlakuan sekolah terhadap kegiatan akademik dan non
akademik anak berkebutuhan khusus saat di sekolah.
Sekolah memberikan perhatian khusus terhadap yang
bersangkutan, beberapa perlakuan sekolah terhadap yang bersangkutan
dapat diuraikan sebagai berikut:
Dalam pembelajaran di kelas relatif tidak ada masalah, karena secara
akademik tidak beda jauh dengan yang lainnya. Hanya untuk urusan
mobile atau keperluan pindah tempat seperti harus maju
menyampaikan pendapat, presentasi, atau untuk unjuk kerja maka
yang bersangkutan harus mendapat bantuan siswa lain atau gurunya
yang harus mengalah untuk memberikan kesempatan dengan
kemampuan yang di miliki.
Dalam mengikuti pelajaran-pelajaran di luar kelas, seperti olah raga,
praktek lapangan, kegiatan praktikum maka guru akan memberikan
perlakuan khusus, tapi bukan berarti yang bersangkutan bebas dari
tanggung jawab atau lepas dari tagihan untuk materi tersebut. Yang
jelas pendidik dan pembimbing di SMP Negeri 1 Maospati sudah
menyadari dengan kondisi anak tersebut.
Untuk kegiatan-kegiatan wajib dan rutin, sekolah melalui wali kelas
dan teman sekelasnya senantiasa memberikan toleransi dan
kepedulian yang tinggi, sehingga untuk kegiatan semacam upacara,
beribadah, ekstrakurikuler, aktifitas pribadi ke kamar mandi dan lainlain
berjalan relatif tidak ada masalah.
Guru bimbingan konseling sekolah memberikan perhatian khusus,
dengan memberikan motivasi dan membangkitkan kepercayaan diri,
9
sehingga anak-anak berkebutuhan khusus tersebut bisa tumbuh dan
berkembang seperti anak-anak pada umumnya.
Dengan dukungan dari semua elemen yang ada di sekolah, mulai
dari kepala sekolah, pendidik dan tenaga kependidikan yang ada, siswasiswa
lain. Maka rutinitas anak berkebutuhan khusus dalam mengikuti
KBM di sekolah hampir tidak ada masalah berarti, guru ikhlas
membimbing dan mendampinginya. Siswa-siswa yang lainnya tidak
canggung untuk senantiasa menerima kehadiran anak berkebutuhan
khusus dan memberikan toleransi dan perhatian yang luar biasa.
c) Sarana prasara pendukung yang ada di sekolah dalam kaitannya
dengan pengelolaan pendidikan inklusi.
Sekolah memberikan layanan yang cukup memadai, semisal selalu
menempatkan anak yang bersangkutan di kelas yang berada di lantai
bawah. Serambi atau teras sekolah dibuat sedimikian rupa sehingga
apabila yang bersangktan berpindah dengan menggunakan kursi roda
maka tidak akan mengalami kesulitan.
Dalam program perencanaan pembangunan yang ada di SMP
Negeri 1 maospati senantiasa memberikan perhatian juga untuk
kebutuhan-kebutuhan anak berkebutuhan khusus. Kamar mandi, tempat
beribadah, ruang ketrampilan, lapangan olah raga dan lain-lain,
Diharapkan dengan dukungan sarana prasarana yang memadai
terhadap anak berkebutuhan khusus maka bukan tidak mungkin akan lahir
talenta-talenta atau prestasi di berbagai bidang dari anak-anak
berkebutuhan khusus tersebut.
d) Kerja sama sekolah dengan orang tua anak berkebutuhan
khusus.
Hal lain yang tidak kalah penting yang dilakukan sekolah dalam
mensukseskan pendampingan dan pembimbingan anak berkebutuhan
10
khusus adalah menjalin komunikasi secara intens dengan pihak keluarga.
Beberapa bentuk jalinan kerja sama itu adalah :
Memberikan motivasi dan pemahaman kepada keluarga bahwa
keluarga harus memahami kondisi si anak. Keluarga kita yakinkan
untuk tetap berbesar hati menerima kenyataan dan terus memberikan
perhatian ekstra kepada sang anak.
Disamping pendampingan dari sekolah diharapkan keluarga juga
berupaya mencarikan pendamping lain yang memiliki keahlian
dibidangnya, termasuk juga pendamping untuk urusan pribadi seperti
antar jemput ke sekolah.
Berkat kerja sama dengan pihak orang tua atau wali itulah maka
penanganan anak berkebutuhan khusus di SMP Negeri 1 Maospati
berjalan lancar, orang tua senang dengan perhatian semua komponen
yang ada di sekolah, pihak orang tua memahami dengan kondisi anaknya
yang dititipkan di sekolah.
Sampai saat tulisan ini penulis buat di SMP Negeri 1 Maospati
memiliki kurang lebih 10 anak berkebutuhan khusus, mulai disabilitas fisik,
IQ di bawah standar, inkonsisten berperilaku. Keberadaan anak-anak
tersebut dalam keseharian di sekolah relatif tidak ada masalah, guru
ikhlas mendampingi dan membimbingnya. Siswa-siswa sudah familier
dengan keberadaan mereka semua.
D. Kesimpulan dan Harapan Penulis
Dari uraian pada pembahasan di atas maka dapat diambil
beberapa kesimpulan :
1. Pendidikan adalah hak setiap warga negara yang dilindungi undangundang
tak terkecuali anak berkebutuhan khusus berhak mendapakan
pendidikan inklusi. Maka dari itu pemerintah wajib menjamin
terselenggaranya pendidikan inklusi secara nyata tidak berupa jargon
dan propaganda.
11
2. Untuk mencapai terlaksananya pendidikan inklusi yang optimal perlu
kerja keras setiap elemen bangsa, pemerintah, stake holder,
penyelenggara pendidikan, pendidik, masyarakat secara umum.
3. Akses informasi tentang penyelenggaraan pendidikan inklusi lebih
dioptimalkan melalui berbagai forum diskusi, penyebarluasan berita
melalui media masa, baik media cetak maupun media audio visual.
Sehingga semua lapisan masyarakat akan mengerti tentang pentingnya
pendidikan inklusi, yang pada akhirnya tidak ada lagi muncul
pertanyaan-pertanyaan kemana harus menyekolahkan anak
berkebutuhan khusus.
Akhirnya dari beberapa kesimpulan yang penulis sampaikan,
penulis memiliki harapan yang besar dari pemerintah untuk melakukan
gerakan bersama “Selamat Datang Pendidikan Inklusi”, kita gelorakan
slogan “ Diskriminasi No Pendidikan Inklusi Yes” . Diharapkan dengan
adanya gerakan ini maka pemerintah secara nyata melaksanakan amanat
undang-undang menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan
pendidikan yang berkeadilan, tanpa memandang latar belakangnya.
Semua sekolah terbuka untuk siapa saja warga Negara Indonesia, semua
sekolah memberikan akses pada anak-anak berkebutuhan khusus,
penyandang disabilitas.
E. Daftar Pustaka
Ainscow, Mel. 2001. Reaching Out to All Learner: Some Opportunities and
Challenges, dalam Harry Daniels (eds.), Special Education ReFormed:
Beyond Rhetoric?, hal. 101-122, Taylor & Francis eLibrary,
New York.
Budianto. 2015. Pengertian Pendidikan Inklusi. http://www.budhii.web.id
/2015/05/pengertian-pendidikan-inklusi.html. diakses tanggal 5
Nopember 2016
12
Departemen Pendidikan Nasional, 2003. Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta:
Depdiknas
Depdiknas. 2007b. Pedoman Khusus Penyelenggaraan Pendidikan
Inklusif. Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta:
Depdiknas, Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa.
Hetty Rusyanti. 2015 . Pengertian Pendidikan Inklusi. http://www.kajian
teori. com/2015/12/pengertian-pendidikan-inklusi.html. diakses
tanggal 2 Nopember 2016.
Permendiknas . (2009). No 70 Tahun 2009. Tentang Pendidikan inklusif
Bagi Anak Yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi
Kecerdasan dan atau Bakat Khusus. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional.
Puspito, Peni. 2015. Kebijakan Pendidikan Inklusi Di Indonesia.
http://pepenk26.blogspot.co.id/2015/02/kebijakan-pendidikaninklusi-di.html,
diakses tanggal 30 Oktober 2016
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945.
Sue Stubbs. 2002. Pendidikan Inklusif: Ketika Hanya Ada Sedikit Sumber.
Judul asli: Inclusif Education: Where There Are Few Resources.
Dialihbahsakan oleh: Susi Septaviana. Bandung: Jurusan
Pendidikan Luar Biasa UPI.
Sunaryo, Ilham dan Surtikanti. 2011. Pendidikan Anak Berkebutuhan
Khusus (Inklusif). Surakarta: BP-FKIP UMS.